Belajar Dari Kisah Horatio Spafford
Kisah
tentang Horatio Spafford
It Is Well With My Soul (NKB.119. Kendati Hidupku Tentram)
adalah sebuah judul hymn yang sangat
terkenal bukan hanya melodi dan susunan lirik yang begitu mendalam yang
menggambarkan kesungguhan iman yang dalam kepada Allah sekalipun keadaan hidup
penuh dengan derita. Tetapi kisah dibalik lagu ini menjadi suatu cerita yang
sungguh sangat menarik untuk disimak dan menjadi contoh bagaimana kehidupan
seorang kristen yang bergumul dengan kebaikan Allah dan kenyataan hidup yang
pahit.
Horatio Spafford adalah sosok
dibalik lirik lagu ini. Rangkaian kata dan makna yang dalam akan penghayatan
imannya kepada Tuhan mengajarkan kita bahwa hidup mengikut Tuhan tidak menjamin
kita dapat merengkuh kenikmatan hidup sebagaimana yang di dambakan oleh setiap
orang. Tetapi sekalipun demikian,
bukankah Allah tetap baik karena ia menjamin jiwa kita? Kira-kira demikian
Spafford menulis lirik lagu ini.
Siapakah
Spafford?
Horatio Spafford adalah seorang
pengusaha dan pengacara yang sukses di Amerika, tepatnya di Chicago. Ia adalah
seorang yang aktif di dalam mendukung pelayanan, dan ia merupakan seorang
pengikut Kristus yang taat. Ia memiliki keterikatan yang kuat di dalam
mendukung pelayanan bersama sahabatnya D.L. Moody yang juga dari Chicago.
Awal mula peristiwa yang menyedihkan
terjadi di kehidupan Spafford yakni pada tahun 1870 dimana ia kehilangan anak
laki-lakinya yang terkena virus demam berdarah dan membuatnya begitu sedih.
Setahun peristiwa duka yang ia alami itu berlalu, Spafford harus kembali
diperhadapkan pada kenyataan pahit. Pada tahun 1871 terjadilah satu peristiwa
bencana dahsyat yang dicatat di dalam sejarah sebagai bencana yang terbesar di
abad itu yakni The Great Chicago Fire.
Peristiwa kebakaran hebat yang terjadi selama 3 hari ini menewaskan ± 300
orang. Api yang tidak terpadamkan itu juga menghabiskan bangunan-bangunan elit
sepanjang kurang lebih 9 km. Gedung-gedung serta perumahan Real Estate termasuk di dalamnya properti gedung dimana Spafford
berinvestasipun ikut habis dilalap api yang membabi-buta.
Peristiwa ini ternyata membuat Spafford
dan keluarga merasa terpukul. Terlebih khusus isterinya, Anna. Dalam beberapa
tahun, Anna masih merasa terpukul dan goncang dengan peristiwa tersebut. Sehingga
Pada November tahun 1873, Spafford merencanakan sebuah perjalanan untuk
keluarganya yakni dia, isterinya serta ke-empat anaknya. Ia ingin membawa
anggota keluarganya menikmati liburan yang dirangkaikan dengan menghadiri
pelayanan D.L. Moody sahabatnya, di Eropa. Hal ini untuk menghibur hati sang
Istri. Akan tetapi, ketika mereka hendak berangkat, tiba-tiba Spafford harus
terbentur dengan urusan bisnis tiba-tiba yang tidak dapat ia tinggalkan. Oleh
sebab itu, Spafford harus tinggal dan menyelesaikan urusannya, dengan janji ia
akan menyusul beberapa hari kemudian. Sementara itu isteri dan anaknya tetap
berangkat dan melanjutkan perjalanan liburan mereka menuju Eropa menggunakan
kapal S.S. Ville du Havre yang berlayar menuju Perancis.
Hal yang tidak terduga terjadi, kapal
yang ditumpangi Isteri dan ke-empat anak Spafford ini harus mengalami tabrakan
dengan kapal cepat Skotlandia yang kemudian menenggelamkannya dalam waktu 12
menit. Kapal S.S. Ville du Havre tenggelam dan terbawa hingga ke dasar laut.
Sejarah mencatat bahwa peristiwa ini menewaskan 226 penumpang termasuk ke-empat
anak Spafford. Beruntungnya, isteri Spafford dapat terselamatkan dari peristiwa
naas ini bersama dengan 77 orang penumpang dan kru.
Ketika kapal yang menolong korban
kecelakaan kapal yang ditumpangi keluarga Spafford ini mendarat di Cardif,
Wales beberapa hari kemudian, Isteri Spafford segera mengirim telegram kepada
suaminya yang berisi tulisan “Saved alone” yang berarti selamat seorang diri.
Ketika menerima telegram ini, Spafford bergegas berangkat menemui isterinya
dengan perasaan terpukul dan hancur.
Spafford dengan segera menumpang kapal
untuk menyusul isterinya yang sudah tentu dalam keadaan tergoncang secara hebat
karena kehilangan sekaligus empat anak mereka. Ketika ia sedang berada di atas
kapal dan memandang ke arah lautan luas, ia mulai menuliskan suatu lirik dari
hasil perenungan di dalam dukanya yang mendalam, yang belakangan menjadi lagu
yang begitu apik:
When peace like a river attendeth
my way
(Ketika
kedamaian seperti sungai hadir dalamku)
When sorrow like sea billows roll
(ketika
kesedihan seperti lautan yang bergelora)
Whatever my lot Thou hast thought
me to say
(Apapun
keadaanku Engkau Tuhan telah mengajariku untuk berkata)
It is well it is well with my soul
(Baik-lah,
Baik-lah Jiwaku)
Perasaan Spafford tertuang di dalam
lirik lagu ini yang menggambarkan imannya yang teguh terhadap Allah yang ia
percayai. Apapun keadaan yang ia alami, ia yakin dan percaya bahwa di dalam
Tuhan semua baik-baik saja.
Peristiwa ini membuat Spafford
tentunya bersedih. Ia harus rela kehilangan semua anak-anaknya yang masih
kecil-kecil sekejap. Tetapi lirik lagu ini menggambarkan betapa ketabahan
Spafford yang tetap kuat dan berserah kepada Tuhan.
Ternyata peristiwa pahit yang di
alami oleh Spafford tidak berhenti sampai disitu. Pada tahun 1878 ia dikarunai
seorang anak peremupuan bernama Bertha yang sayang sekali tidak berumur
panjang. Sama seperti anak pertama Spafford, Bertha harus meregang nyawa karena
penyakit demam berdarah.
Secara sosiologis, peristiwa
menyedihkan yang bertubi-tubi dan di alami oleh keluarga Spafford ternyata
berpengaruh buruk hingga menimbulkan keresahan dan penilaian negatif. Ia harus
di asingkan, bahkan diusir dari lingkungan tempat tinggal mereka, karena mereka
dianggap sebagai keluarga yang dikutuk oleh Allah. Mereka dianggap membawa
petaka dan kesialan bagi masyarakat. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi
dalam hidup keluarga Spafford dan Anna, mulai dari kematian anak pertama hingga
Bertha, dianggap sebagai hukuman Allah atas hidup Spafford dan isterinya.
Masyarakat menolak kehadiran mereka dan mengusir keluarga ini untuk keluar dari
Chicago.
Pada akhirnya, Spafford dan
isterinya meninggalkan Amerika dan pindah ke Yerusalem setelah kelahiran anak
mereka pada tahun 1881. Di sana, ia tinggal dan memulai hidup yang baru bersama
dengan orang-orang Amerika lainnya yang melayani Yesus Kristus dalam satu koloni
yakni orang-orang kristen yang tergabung dalam Christian Philanthropic Society.
“Tuhan Mengijinkan”:
Sebuah Teodisi?
Kalau kita belajar dari hidup Spafford,
seseorang yang memiliki iman percaya kepada Kristus, ia setia, memberi banyak
bantuan untuk kelancaran pelayanan akan tetapi kenyataan hidup yang harus ia
hadapi begitu pahit. Timbul pertanyaan, bukankah seharusnya Allah memberkati
dia? Mengapa Allah membiarkan itu terjadi di dalam kehidupan seseorang yang
begitu setia melayani Dia?
Barangkali kalau hal yang dialami
Spafford itu terjadi di dalam hidup orang kristen masa kini, yang sarat akan
pengaruh ajaran “blessed to be blessing”
yang berorientasi pada materi dan bukan kualitas iman yang tebal dalam
pengenalan Allah yang benar, saya meyakini bahwa akan banyak anak-anak-Nya yang
kecewa dan tidak sedikit pula yang meninggalkan-Nya.
Bukankah Tuhan itu ada dan Tuhan itu
Maha Baik? Jika Ia ada dan Ia Maha Baik, lalu mengapa ia membiarkan hal buruk
terjadi dan merajalela di dalam dunia ini? Mengapa Ia membiarkan hidup saya
susah? Mengapa Ia tidak peduli dengan penderitaan yang saya alami? Mengapa Ia
acuh terhadap kesedihan dan kepedihan yang saya rasakan? Jika diteruskan,
pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan muncul dalam spesifikasi yang bervariasi
seiring dengan ketidaksampaian pemikiran kita terhadap kenyataan-kenyataan
hidup yang tidak sesuai dengan harapan.
Benarkah Tuhan tidak peduli? Tidak
benar! Tuhan adalah pribadi yang Maha Peduli dan memperhatikan setiap detail
kehidupan umat-Nya. Orientasi berpikir manusia selalu egosentris,
antroposentris (walaupun human oriented
ini dalam keadaan terntentu sangat perlu
sebagai implementasi dalam bentuk praksis). Cara pandang seperti ini menilai
Tuhan itu eksis bukan dari pengenalan iman yang benar, melainkan, eksistensi
Tuhan -- yang kemudian dihubung-hubungkan dengan atribut-Nya -- ditentukan
dengan setiap keadaan yang dialaminya. Singkatnya, jika hidupnya baik, maka
Allah yang Maha baik itu ada, tetapi jika keadaan hidupnya atau sekelilingnya
menderita, maka tidak mungkin Allah yang Maha Baik itu abai terhadap
penderitaan. Pertanyaannya adalah siapa menentukan apa? Atau apa menentukan
siapa? Eksistensi Allah ditentukan dari baik-buruknya hidup manusia. Ini adalah
suatu kekeliruan besar.
Apa dan mengapa permasalahan di
dunia ini terjadi, bahwa tidak semua orang mengerti dan mengetahuinya. Jika
kita berempati pada kasus Spafford, maka kita akan menemukan banyak sekali
pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab. Dan terkadang usaha untuk mencari
jawaban ini dapat disamakan dengan usaha menjaring angin.
Lalu mengapa Spafford harus
mengalami hal yang sedemikian buruk di dalam hidup-setianya kepada Allah?
Nampaknya jawaban yang tepat adalah karena Allah mengasihi Dia. Lalu mengapa
bentuk kasih Allah kepada Spafford begitu mengerikan? Tuhan mengijinkan
demikian untuk alasan-alasan yang tidak dapat kita pahami. Dan sangat mungkin
untuk membuat Spafford lebih kuat di dalam Tuhan (Ingat kasus Yusuf, Ayub,
Habakuk?). Jawaban seperti ini dikenal sebagai Teodisi. Teodisi adalah sebuah
jawaban relevan yang setidaknya memberikan ruang bagi rasio kita mengerti
bagaimana Tuhan bekerja di dalam dunia ini.
Tuhan memang bekerja di dalam cara
yang begitu misterius, namun bukan berarti tidak dapat dimengerti sama sekali.
Karena jika demikian maka kita mengikuti Tuhan yang asing yang tidak memiliki
standar untuk menjadi legitimasi pola pengenalan akan Diri-Nya. Tetapi yang
terpenting adalah bahwa di dalam setiap perkara hidup yang dialami oleh orang
percaya, Tuhan senantiasa bekerja untuk mendatangkan kebaikan di dalam hidupnya
(Rom.8;28). Allah itu kasih (I Yoh.4:8), tidak mungkin Ia berbuat sesuatu yang
berlawanan dengan diri-Nya. Sehingga mustahil bagi kita untuk menjadikan Allah
sebagai biang kerok permasalahan yang kita alami.
Allah yang Maha Kasih itu mustahil
untuk tidak mengasihi. Allah yang Maha baik itu mustahil untuk bersekutu merancangkan kejahatan di dalam dunia. Bahkan
saking Kasih-Nya, Ia mengutus Kristus, kesayangan-Nya untuk mati bagi manusia.
Raja yang miskin, tersiksa, menderita, mati tetapi kemudian bangkit sebagai
proklamasi kemenangan-Nya.
Apa yang lebih mensukacitakan hidup
selain pemaknaan bahwa Allah itu turut menderita bagi umat-Nya? Dapatkah kita
berkata bahwa Ia tidak ada? Dapatkah kita mengatakan bahwa Allah itu membiarkan
penderitaan di dunia ini? Barangkali kita menuntut Dia untuk memuaskan
dahaga-dahaga keingintahuan kita untuk mengkonstruksi suatu pemahaman yang
memuaskan bukan hanya rasio tetapi juga hati. Tetapi lihatlah bahwa, Iman
adalah kunci dari pintu-pintu yang terbuka dan menuntut untuk diisi itu.
Belajar dari Spafford, bahwa
sekalipun binasa hidup kita, dan bahkan pertanyaan-pertanyaan bergelora seperti
gelombang yang hendak menghujam penasaran akal kita, iman kepada Kristus yang
menderita menjadi alternatif jawaban yang tepat, utama, dan bersifat kekal. It is well with my soul karena Allah
adalah jaminan -- yang kekal dan utama.
Tuhan selalu ada di dalam setiap musim
hidup kita. Apapun keadaan kita hari ini, bersyukurlah untuk Anugerah
keselamatan kekal yang sudah kita terima. Ingatlah, ketika kita menderita bahwa
Kristus juga ikut merasakan penderitaan kita yang sudah Ia bayar di atas Salib
yang tua dan kasar itu.
Thanks for all
BalasHapus